Pertumbuhan: Persoalan Bagi Kemajuan*

Kemajuan bukanlah suatu istilah yang netral; kemajuan bergerak menuju tujuan yang khusus dan tujuan itu didefinisikan berkat adanya kemungkinan-kemungkinan dalam memperbaiki kondisi umat manusia (Marcuse, 2000).

Beberapa waktu lalu, tidak hadirnya keinginan dari dalam diri kita untuk mempersoalkan ide pertumbuhan tak terbatas yang telah digunakan untuk merumuskan konsep kemajuan bukanlah suatu hal yang mengherankan. Mengingat hampir seluruh gambaran dan realitas yang terus menerus dengan sengaja didistribusikan kepada kita selalu menampilkan sisi positifnya. Sehingga, dengan begitu saja kita menerimanya sebagai satu-satunya ide untuk mencapai kemajuan, sekaligus berkesimpulan bahwa menggunakan ide tersebut tak mungkin akan menimbulkan persoalan.

Selain itu, dengan begitu tenang dan menyenangkan kita telah pula dianjurkan untuk tidak sekalipun melakukan hal yang tidak sesuai dengan ide tersebut. Melakukannya akan membuat kita dikenakan sanksi. Kendati tidak menyentuh sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada fisik, namun cukup efektif dalam menanamkan rasa tidak mengenakan dan bersalah. Apa saja yang menghambat pertumbuhan akan dianggap sebagai hal yang memalukan. Jika ada yang tetap mempertahankannya, maka orang itu akan dianggap sebagai sabotir atau bodoh (Schumacher, 1985). Karenanya, tak seorang pun akan memasukan pertumbuhan sebagai suatu persoalan (Heilbroner, 1993).

Tanpa dapat dikendalikan lagi, satu persatu fakta yang memperlihatkan sisi buruk pertumbuhan mulai terus menerus termanifestasi. Kemajuan yang sedang diupayakan ternyata menuju ke arah yang sangat berbeda dengan yang ingin dicapai. Dampak yang bersifat kontraproduktif yang ditimbulkannya telah mengancam kelangsungan hidup manusia. Dan tanpa dapat untuk menghidarinya lagi, kita pun dituntut untuk mulai mempersoalkannya. Tindakan mempersoalkannya bukanlah untuk mengekspresikan rasa sentimen kekanak-kanakan. Kita memerlukan konsep yang sama sekali baru tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat maju. Dan semua itu diperlukan bukanlah karena pertumbuhan ideologi, tapi berdasarkan keharusan jangka panjang (Heilbroner,1993).

Walau besaran dan tingkatannya berbeda, fakta buruk tentang kemajuan berlandaskan ide pertumbuhan telah kita rasakan. Misalnya berkenaan upaya mengentaskan kemiskinan, Attali dan Guillaume (dalam Gorz, 2003) mengatakan, sudah tidak memungkinkan lagi bagi kita untuk tetap mengasumsikan bahwa tujuan dari pertumbuhan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Walau hasil pertumbuhan mampu mengakibatkan pendapatan masyarakat meningkat, namun tidak berarti kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Pertumbuhan telah menjadikan kemiskinan sebagai suatu kondisi yang bersifat relatif (Gorz, 2003). Janji bahwa pertumbuhan mampu melepaskan belenggu kemiskinan, tidak lain hanya kemasan untuk menarik perhatian saja. Sebab, kemiskinan pada hakekatnya merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk melakukan pertumbuhan. Seperti dikatakan Illich (1998), setiap kali kebutuhan sederhana yang dipenuhi oleh suatu tingkat pertumbuhan, selalu akan melahirkan kamu miskin yang baru dan definisi yang baru mengenai kemiskinan. Pertumbuhan telah memodernisasikan kemiskinan.

Lalu, asumsi bahwa pertumbuhan diperlukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan juga sudah tidak dapat untuk dipertahankan lagi. Pertumbuhan tidak cukup untuk memperbaiki mutu hidup (Heilbroner, 1993). Sebaliknya telah mengakibatkan banyak kerusakan baik secara fisik (Illich, 1995), mental (Fromm, 1995) dan lingkungan tempat kita hidup. Pertumbuhan memberikan tanda kemerosotan bukannya perkembangan (Mizhan dalam Gorz, 2003). Dan bila kerusakan-kerusakan itu dimasukan dalam perhitungan, kata Attali dan Guillaume  (Gorz, 2003), biaya yang ditimbulkan ternyata lebih tinggi daripada keuntungan yang diberikan. Apa yang kita nikmati tidak lain adalah merugi.

Soal yang  perlu mendapatkan perhatian serius adalah logika yang melekat pada ide pertumbuhan tidak terbatas. Logika bahwa pertumbuhan harus dilaksanakan secara bertingkat dan terus-menerus, sangat tidak relevan dengan kenyataan bahwa alam memiliki keterbatasan. Baik menyangkut kemampuan alam untuk menyediakan sumber daya yang akan dimanfaatkan untuk melakukan pertumbuhan, maupun berkenaan dengan kemampun memperbaiki kerusakan yang diakibatkan dari pemanfaatan sumber daya dan menikmati hasilnya. Pertumbuhan di dalam lingkungan hidup yang terbatas jelas suatu hal yang tidak mungkin (Schumacher, 1985).

Menghendaki pertumbuhan yang terus menerus meningkat tentu membutuhkan banyak sumber daya alam. Semakin banyak yang dimanfaatkan, semakin cepat persediaan cadangan menjadi habis. Begitu pula terkait kerusakan yang ditimbulkan. Semakin tinggi pertumbuhan, semakin cepat alam menjadi tidak mampu untuk memperbaikinya. Sehingga jelas bahwa ide pertumbuhan yang tidak terbatas sangat perlu untuk dipersoalkan. Baik mengenai ada atau tidaknya sumber daya baku dan kemampuan lingkungan hidup menyerap campur tangan yang disebabkan oleh pertumbuhan (Schumacher, 1985). Sebagaimana Mill dalam Fromm (2004) berharap, demi anak cucu, mereka harus puas untuk berhenti, jauh sebelum mereka terpaksa berhenti.

Namun, pembelaan bahwa pertumbuhan dapat direoreintasikan tidaklah dapat diterima, kecuali reorientasi tersebut dilakukan secara radikal (Attali dan Guillame dalam Gorz (2003). Untuk melakukannya kita membutuhkan subversi radikal atas arahan umum yang tengah berlaku serta organisasinya (Marcuse, 2000). Menurut Illich (1998), kita harus mengadopsi kebijakan-kebijakan pertumbuhan negatif dalam merumuskan kembali konsep kemajuan. Tentunya, agar pemihakan terhadap pilihan tersebut menjadi efektif, kita harus bisa mengapresiasikannya sebagai pilihan rasional, politik dan kultural kita. Bila kita gagal mengapresiasikannya, konsep baru tentang kemajuan tersebut tetap akan sulit untuk diyakini mampu memperbaiki kehidupan umat manusia. (**)

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Rakyat Bengkuu pada Jumat, 27 Januari 2006

Author: Dedek Hendry

Jurnalis yang mendalami isu lingkungan hidup, gender dan komunikasi partisipatif untuk perubahan sosial.

Leave a comment